karena nila setitik. rusak susu sebelanga.
Entah apakah ini pantas kusamakan dengan kondisi Indonesia saat ini, ataukah justru tak ada sangkut pautnya. Ah sudahlah. Menulis saja.
Hai Pak Ahok! Sayang ya, saya tidak bisa mengucapkan salam istimewa untuk anda. Jadi sekedar “hai” saja, tak masalah kan ya.. Toh anda juga tak mengenal saya. π
Ingin sedikit bercerita.
Jaman saya kecil, hmm sekitar 20 tahun lalu, di kampung tempat tinggal saya; ada 1 sahabat saya (kala itu) yang beragama nasrani dengan etnis jawa. Ada juga 1 sahabat saya (masih saat itu juga), muslim, dan kami hampir selalu bertiga setiap bermain di hari libur sekolah ataupun libur tanggal merah. Sebenarnya ada sekitar 10 teman laki-laki yang ikut meawarnai masa kecil kami. Ya, saat itu masa kecil kami bisa dibilang sangat bahagia.
Tak ada istilah handphone ataupun laptop. Apalagi game game di komputer yang saya saja baru tahu kalau itu bisa menjadi candu. Kami bermain seperti biasa. Sebutlah gobak sodor, lompat karet, benteng, bite-7, tap tembok, tap jongkok, badminton, main gambaran, bongkar pasang, bekel, congklak dsb. Saya jago main bekel loh, pak! Sama karet jepang, yang mainnya macam orang lagi latihan lompat tali. Kalau congklak, saya selalu kalah. π#gakadayangnanya.
Hai bapak!
Dulu, perbedaan agama bukan penghalang bagi kami. Lebaran tiba, sahabat saya itu pun datang ke rumah beserta keluarganya. Sekedar mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri. Pun dengan natal. Eh tapi untuk yang natal, setelah tahu bahwa “say merry christmast” itu tidak boleh dalam agama Islam, so paling kami sekeluarga kirim oleh oleh lebaran saja sebagai tanda silaturahim. Eh nggak nyambung ya? ππ
Dulu, saat sedang kumpul di rumah entah rumah saya atau rumah kawan yang lain, setiap adzan berkumandang, kami yang muslim pasti sholat. Dan satu sahabat saya itu diam menunggu kami menunaikan ibadah sholat. Tak ada komplain darinya, semisal “hei, hormatin aku dong yang minoritas ini!”. Omaigat! Drama seperti itu sama sekali nggak ada. Dan selepas sholat, kami kembali padanya, melanjutkan permainan kami.
Ada satu hal yang sampai sekarang masih saya ingat. Saat itu, kami yang sedang berkumpul di rumah hendak menunaikan sholat maghrib. Mengantrilah satu per satu untuk berwudhu. Ceritanya, saya sudah wudhu lebih dulu, lalu saya menghampiri sahabat saya itu. Saya bilang, “coba wawa muslim juga ya.. kita bisa sholat berjama’ah. bareng bareng.. Jadi wawa nggak sendirian nungguin kita”. Dan bapak tahu tidak apa jawabannya?
Nggak, pak! Dia nggak marah. Dia juga nggak tersinggung lalu pulang ke rumahnya. Dia cuma jawab, “hehehe.. iya ya. kalo aku muslim, aku ikutan sholat juga pasti”. Ah betapa masa kecil kami teramat polos. Tak ada prasangka prasangka pun yang terbersit di pikiran.
Betapa dulu, kami yang berbeda agama pun tak menjadikan itu sebagai kambing hitam munculnya konflik.
Tapi sejak ‘tragedi’ Al Maidah ayat 51 itu, rasanya semakin tipis saja persahabatan ini. Bapak tau nggak, sesaat setelah Aksi Damai kami kemarin, Qadarullah saya membaca satu status di wall akun facebook sahabat saya itu. Ah saya lupa seperti apa redaksinya, kira kira seperti ini, “fisiknya aja bau keringet gitu. apalagi mentalnya”.. ππ
Duhai. nyesek pak bacanya.
Seumur-umur saya merasa tidak ada masalah dengannya, tapi sesaat setelah membaca tulisannya itu, subhanallah.. ada yang sakit di sudut hati ini.
πΏπΏπΏπΏπΏπΏπΏπΏπΏ
Dear wawa..
Lama ya kita tak bicara. Sekedar bertular kabar pun jarang sekali kita lakukan. Kita bersebelag rumah tapi entah rasanya seperti baru pindah. Aku tahu, dewasa ini kita punya prinsip yang jauh berbeda, pun dengan pandangan politik yang kian hari kian memanas.
Dear wawa..
Maaf kalau dulu aku ada salah dan khilaf padamu. Pun dengan sangat menyesal aku harus berucap, aku tersakiti saat kau mengatakab hal itu pada saudara saudara seimanku. Ah andai saja aku berani berkata, ini karena gubernur jakarta! Tapi tak lah aku mengatakan hal itu padamu, toh secara tersirat pun kita sama sama tahu; kau memilihnya dan aku anti padanya.
Tak apa. Bukankah memilih itu adalah hak setiap warga?
Aku hanya berharap, dibalik peliknya dunia politik Indonesia, bagaimanapun juga kau adalah tetanggaku. Walaupun berbeda, tapi dalam Islam, tetap ada hak mu yang harus kami penuhi. Termasuk bermuamalah. Kecuali dalam hal aqidah.
Salam untukmu dan keluarga di sana.
Mungkin kapan kapan kita bisa play date ya sama teman teman yang lain. Sekalian perkenalan “Bale’a family”.. π€