Dear…

Standard

karena nila setitik. rusak susu sebelanga.

Entah apakah ini pantas kusamakan dengan kondisi Indonesia saat ini, ataukah justru tak ada sangkut pautnya. Ah sudahlah. Menulis saja.

Hai Pak Ahok! Sayang ya, saya tidak bisa mengucapkan salam istimewa untuk anda. Jadi sekedar “hai” saja, tak masalah kan ya.. Toh anda juga tak mengenal saya. πŸ˜„

Ingin sedikit bercerita.

Jaman saya kecil, hmm sekitar 20 tahun lalu, di kampung tempat tinggal saya; ada 1 sahabat saya (kala itu) yang beragama nasrani dengan etnis jawa. Ada juga 1 sahabat saya (masih saat itu juga), muslim, dan kami hampir selalu bertiga setiap bermain di hari libur sekolah ataupun libur tanggal merah. Sebenarnya ada sekitar 10 teman laki-laki yang ikut meawarnai masa kecil kami. Ya, saat itu masa kecil kami bisa dibilang sangat bahagia.

Tak ada istilah handphone ataupun laptop. Apalagi game game di komputer yang saya saja baru tahu kalau itu bisa menjadi candu. Kami bermain seperti biasa. Sebutlah gobak sodor, lompat karet, benteng, bite-7, tap tembok, tap jongkok, badminton, main gambaran, bongkar pasang, bekel, congklak dsb. Saya jago main bekel loh, pak! Sama karet jepang, yang mainnya macam orang lagi latihan lompat tali. Kalau congklak, saya selalu kalah. πŸ˜›#gakadayangnanya.

Hai bapak!

Dulu, perbedaan agama bukan penghalang bagi kami. Lebaran tiba, sahabat saya itu pun datang ke rumah beserta keluarganya. Sekedar mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri. Pun dengan natal. Eh tapi untuk yang natal, setelah tahu bahwa “say merry christmast” itu tidak boleh dalam agama Islam, so paling kami sekeluarga kirim oleh oleh lebaran saja sebagai tanda silaturahim. Eh nggak nyambung ya? πŸ˜†πŸ˜†

Dulu, saat sedang kumpul di rumah entah rumah saya atau rumah kawan yang lain, setiap adzan berkumandang, kami yang muslim pasti sholat. Dan satu sahabat saya itu diam menunggu kami menunaikan ibadah sholat. Tak ada komplain darinya, semisal “hei, hormatin aku dong yang minoritas ini!”. Omaigat! Drama seperti itu sama sekali nggak ada. Dan selepas sholat, kami kembali padanya, melanjutkan permainan kami.

Ada satu hal yang sampai sekarang masih saya ingat. Saat itu, kami yang sedang berkumpul di rumah hendak menunaikan sholat maghrib. Mengantrilah satu per satu untuk berwudhu. Ceritanya, saya sudah wudhu lebih dulu, lalu saya menghampiri sahabat saya itu. Saya bilang, “coba wawa muslim juga ya.. kita bisa sholat berjama’ah. bareng bareng.. Jadi wawa nggak sendirian nungguin kita”. Dan bapak tahu tidak apa jawabannya? 

Nggak, pak! Dia nggak marah. Dia juga nggak tersinggung lalu pulang ke rumahnya. Dia cuma jawab, “hehehe.. iya ya. kalo aku muslim, aku ikutan sholat juga pasti”. Ah betapa masa kecil kami teramat polos. Tak ada prasangka prasangka pun yang terbersit di pikiran. 

Betapa dulu, kami yang berbeda agama pun tak menjadikan itu sebagai kambing hitam munculnya konflik. 

Tapi sejak ‘tragedi’ Al Maidah ayat 51 itu, rasanya semakin tipis saja persahabatan ini. Bapak tau nggak, sesaat setelah Aksi Damai kami kemarin, Qadarullah saya membaca satu status di wall akun facebook sahabat saya itu. Ah saya lupa seperti apa redaksinya, kira kira seperti ini, “fisiknya aja bau keringet gitu. apalagi mentalnya”.. 😭😭

Duhai. nyesek pak bacanya.

Seumur-umur saya merasa tidak ada masalah dengannya, tapi sesaat setelah membaca tulisannya itu, subhanallah.. ada yang sakit di sudut hati ini. 

😿😿😿😿😿😿😿😿😿

Dear wawa..

Lama ya kita tak bicara. Sekedar bertular kabar pun jarang sekali kita lakukan. Kita bersebelag rumah tapi entah rasanya seperti baru pindah. Aku tahu, dewasa ini kita punya prinsip yang jauh berbeda, pun dengan pandangan politik yang kian hari kian memanas. 

Dear wawa..

Maaf kalau dulu aku ada salah dan khilaf padamu. Pun dengan sangat menyesal aku harus berucap, aku tersakiti saat kau mengatakab hal itu pada saudara saudara seimanku. Ah andai saja aku berani berkata, ini karena gubernur jakarta! Tapi tak lah aku mengatakan hal itu padamu, toh secara tersirat pun kita sama sama tahu; kau memilihnya dan aku anti padanya. 

Tak apa. Bukankah memilih itu adalah hak setiap warga?

Aku hanya berharap, dibalik peliknya dunia politik Indonesia, bagaimanapun juga kau adalah tetanggaku. Walaupun berbeda, tapi dalam Islam, tetap ada hak mu yang harus kami penuhi. Termasuk bermuamalah. Kecuali dalam hal aqidah.

Salam untukmu dan keluarga di sana.

Mungkin kapan kapan kita bisa play date ya sama teman teman yang lain. Sekalian perkenalan “Bale’a family”.. πŸ€—

Dear…

Standard

karena nila setitik. rusak susu sebelanga.

Entah apakah ini pantas kusamakan dengan kondisi Indonesia saat ini, ataukah justru tak ada sangkut pautnya. Ah sudahlah. Menulis saja.

Hai Pak Ahok! Sayang ya, saya tidak bisa mengucapkan salam istimewa untuk anda. Jadi sekedar “hai” saja, tak masalah kan ya.. Toh anda juga tak mengenal saya. πŸ˜„

Ingin sedikit bercerita.

Jaman saya kecil, hmm sekitar 20 tahun lalu, di kampung tempat tinggal saya; ada 1 sahabat saya (kala itu) yang beragama nasrani dengan etnis jawa. Ada juga 1 sahabat saya (masih saat itu juga), muslim, dan kami hampir selalu bertiga setiap bermain di hari libur sekolah ataupun libur tanggal merah. Sebenarnya ada sekitar 10 teman laki-laki yang ikut meawarnai masa kecil kami. Ya, saat itu masa kecil kami bisa dibilang sangat bahagia.

Tak ada istilah handphone ataupun laptop. Apalagi game game di komputer yang saya saja baru tahu kalau itu bisa menjadi candu. Kami bermain seperti biasa. Sebutlah gobak sodor, lompat karet, benteng, bite-7, tap tembok, tap jongkok, badminton, main gambaran, bongkar pasang, bekel, congklak dsb. Saya jago main bekel loh, pak! Sama karet jepang, yang mainnya macam orang lagi latihan lompat tali. Kalau congklak, saya selalu kalah. πŸ˜›#gakadayangnanya.

Hai bapak!

Dulu, perbedaan agama bukan penghalang bagi kami. Lebaran tiba, sahabat saya itu pun datang ke rumah beserta keluarganya. Sekedar mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri. Pun dengan natal. Eh tapi untuk yang natal, setelah tahu bahwa “say merry christmast” itu tidak boleh dalam agama Islam, so paling kami sekeluarga kirim oleh oleh lebaran saja sebagai tanda silaturahim. Eh nggak nyambung ya? πŸ˜†πŸ˜†

Dulu, saat sedang kumpul di rumah entah rumah saya atau rumah kawan yang lain, setiap adzan berkumandang, kami yang muslim pasti sholat. Dan satu sahabat saya itu diam menunggu kami menunaikan ibadah sholat. Tak ada komplain darinya, semisal “hei, hormatin aku dong yang minoritas ini!”. Omaigat! Drama seperti itu sama sekali nggak ada. Dan selepas sholat, kami kembali padanya, melanjutkan permainan kami.

Ada satu hal yang sampai sekarang masih saya ingat. Saat itu, kami yang sedang berkumpul di rumah hendak menunaikan sholat maghrib. Mengantrilah satu per satu untuk berwudhu. Ceritanya, saya sudah wudhu lebih dulu, lalu saya menghampiri sahabat saya itu. Saya bilang, “coba wawa muslim juga ya.. kita bisa sholat berjama’ah. bareng bareng.. Jadi wawa nggak sendirian nungguin kita”. Dan bapak tahu tidak apa jawabannya? 

Nggak, pak! Dia nggak marah. Dia juga nggak tersinggung lalu pulang ke rumahnya. Dia cuma jawab, “hehehe.. iya ya. kalo aku muslim, aku ikutan sholat juga pasti”. Ah betapa masa kecil kami teramat polos. Tak ada prasangka prasangka pun yang terbersit di pikiran. 

Betapa dulu, kami yang berbeda agama pun tak menjadikan itu sebagai kambing hitam munculnya konflik. 

Tapi sejak ‘tragedi’ Al Maidah ayat 51 itu, rasanya semakin tipis saja persahabatan ini. Bapak tau nggak, sesaat setelah Aksi Damai kami kemarin, Qadarullah saya membaca satu status di wall akun facebook sahabat saya itu. Ah saya lupa seperti apa redaksinya, kira kira seperti ini, “fisiknya aja bau keringet gitu. apalagi mentalnya”.. 😭😭

Duhai. nyesek pak bacanya.

Seumur-umur saya merasa tidak ada masalah dengannya, tapi sesaat setelah membaca tulisannya itu, subhanallah.. ada yang sakit di sudut hati ini. 

😿😿😿😿😿😿😿😿😿

Dear wawa..

Lama ya kita tak bicara. Sekedar bertular kabar pun jarang sekali kita lakukan. Kita bersebelag rumah tapi entah rasanya seperti baru pindah. Aku tahu, dewasa ini kita punya prinsip yang jauh berbeda, pun dengan pandangan politik yang kian hari kian memanas. 

Dear wawa..

Maaf kalau dulu aku ada salah dan khilaf padamu. Pun dengan sangat menyesal aku harus berucap, aku tersakiti saat kau mengatakab hal itu pada saudara saudara seimanku. Ah andai saja aku berani berkata, ini karena gubernur jakarta! Tapi tak lah aku mengatakan hal itu padamu, toh secara tersirat pun kita sama sama tahu; kau memilihnya dan aku anti padanya. 

Tak apa. Bukankah memilih itu adalah hak setiap warga?

Aku hanya berharap, dibalik peliknya dunia politik Indonesia, bagaimanapun juga kau adalah tetanggaku. Walaupun berbeda, tapi dalam Islam, tetap ada hak mu yang harus kami penuhi. Termasuk bermuamalah. Kecuali dalam hal aqidah.

Salam untukmu dan keluarga di sana.

Mungkin kapan kapan kita bisa play date ya sama teman teman yang lain. Sekalian perkenalan “Bale’a family”.. πŸ€—

PR untuk ummi #1

Standard

“Januari besok, syahdan udah bisa bicara ya, bu. Kata yang terucap itu ada maknanya”, pesan dokter Puji, dr.sp.A yang kupilih untuk Syahdan.

Entah kenapa aku merasa ini agak berat.
Dan akhir Januari kemarin, sesaat sebelum berkunjung ke kimia farma Ulin, dekat DM, aku sempat merasa takut. Bukan takut sebab dokternya galak. Bukan, bukan itu. Beliau baik, ramah, dan suka bercerita. Aku hanya takut akan diajukannya sebuah pertanyaan yang sebenarnya aku sudah tahu apa jawabannya.

“Kata apa saja yang sudah diucapkan, bu?”
atau
“Kenapa yaa.. belum bermakna ya kata yang terucap?”

Tanpa Televisi
Sebenarnya bunda Elly Risman tidak pernah berkata bahwa tidak perlu ada TV di rumah, beliau hanya berpesan bahwa jika anak sering disuguhi televisi atau gadget, ia bisa mengalami gangguan berkomunikasi. Yah, ini pakai bahasaku sih ya. Redaksi tepatnya aku lupa.

Sebenarnya sejak Syahdan lahir dan kami berdua sudah kembali ke rumah ini lagi, aku berniat untuk menghibernasikan televisi yang ada di rumah. Maksudnya supaya rumah ini lebih hidup, yang lebih banyak terdengar adalah lantunan dzikir, yang sering terucap adalah nasihat nasihat (untuk diri sendiri khususnya), dan yang terlihat adalah interaksi juga komunikasi dua arah antar penghuni rumah.

Ya, dengan adanya gadget saja sudah membuat yang dekat terasa begitu jauh. Ah, bagaimana mungkin seorang laki laki lebih mengetahui kondisi kekasihnya dibandingkan dengan kakaknya. Bagaimana mungkin seorang ibu lebih update mengenai infotainment daripada tumbuh kembang buah hatinya. Dan bagaimana mungkin seorang ayah lebih memahami berita olahraga daripada keadaan keluarganya.

Hidup tanpa televisi itu bukan tak bisa. Bukan tak mungkin. MAU atau TIDAK. Itu saja.

Aku pernah memenjalaninya.
Di ponpes? Bukan! (Ah jadi teringat, keinginan menjadi santri di Amanina yang tak terwujud. Hahaha). Well, tempat itu adalah Annida. Kos muslimah yang lingkungannya bisa dibilang sebelas duabelas dengan asrama putri , macam amanina atau DS, walaupun tak setertib keduanya. Satu tahun. Sekitar satu tahun aku di sana. Awalnya kukira nge-kos tanpa TV itu pasti akan mati gaya. Ah ternyata nggak juga. Alhamdulillah malah merasa lebih terjaga. (Jadi kangen majelis ilmunya abi syatori).

Mungkin awalnya terasa sulit, “masa nggak ada TV di rumah?”. Tapi nanti akan terbiasa kok. Lebih banyak waktu untuk bercengkrama, lebih banyak waktu untuk membaca, lebih banyak waktu untuk bermain bersama anak-anak, lebih banyak waktu untuk beribadah. Dan listrik lebih sedikit hemat.

Sebenarnya ingin menghibernasikan si kotak ajaib ini, tapi satu suara lawan tiga suara kan sudah jelas mana yang akan menang :P. Mungkin belum bisa untuk saat ini. Yah semoga aku tak merasa butuh. Sebab kalau sudah terlalu lamammenonton, rasanya mual, eneg, sakit kepala.

Kurang Stimulasi
Ini ada di poin penyebab anak mengalami hambatan berbicara. Di situsnya IDAM seingatku.

Merunut ke belakang, duhai Allah.. ternyata begitu banyak kesalahanku sebagai seorang ibu. Maafkan ummi, syahdan.. , maaf ummi pernah membentakmu, maaf ummi pernah meninggalkanmu sendiri di kamar, maaf ummi pernah memelototimu. Maaf.. ummi minta maaf.. *tear*
Mungkinkah karena itu semua, lantas merusak sel sel otaknya, sehingga ia belum mengucapkan kata yang bermakna sampai di usianya 18 bulan ini?

Maafkan ummi, nak..
Maaf ya.

Jaga pandangannya

Standard

Selalu ingat nasihat ummi umi munawirah. Setelah menikah nanti, seorang istri harus menjaga pandangan suaminya dari hal-hal yang tidak boleh ia lihat. Pun sebaliknya.

Misal, saat bermalam di rumah orangtua istri. Istri wajib menjaga pandangan suaminya dari aurat adik perempuannya juga adik ipar dari adik laki-lakinya. Jangan sampai suami melihat jemuran pakaian dalam mereka. Jangan sampai suami melihat mereka berpakaian yang mengundang syahwat. Maka sholihah, maaf kalau teteh bawel bin rewel ke kamu minta tuk pakai baju yang tidak ketat, tidak pakai celana pendek, dan cobalah belajar memakai jilbab walau hanya di rumah. Sebab suami teteh tetap bukan mahrammu. Maaf juga teteh sering menegur untuk tidak tiduran di ruang tengah. Karena bukan hanya pandangan suami saja yang harus teteh jaga, teteh juga punya kewajiban untuk mengingatmu agar tetap menutup aurat walau ‘hanya’ di depan ipar. Maaf ya, sholihah.. semoga paham apa yang teteh maksud.

Atau semisal saat bermalam di kediaman orangtua suami. Suami wajib menjaga pandangan istrinya. Kalau istri ingin mencuci pakaian dan menjemurnya, pastikan tempat jemurannya tak terlihat oleh ayah atau adik laki-lakinya. Sepele ya? Ah sungguh, istri sangat menyukai perhatian perhatian kecil dari sang suami. Ingatkan mereka untuk mengetuk pintu jika ingin masuk ke kamar (walau sebenarnya itu memang kamar mereka, si istri kan hanya sedang ‘numpang’ menginap saja). Kalau mereka biasa berhanduk saja selepas mandi, ingatkan untuk mengganti pakaian di kamar mandi. Dan sebagainya.

Maka hal yang mungkin dianggap sederhana ini harus dikomunikasikan dengan baik. Dan pastinya itu butuh waktu untuk membicarakannya bersama, duduk berdua. Satu jam mungkin, atau dua jam saja.

Curcol di malam hari

Standard

PR besar memang untuk pemimpin kota banjarmasin juga propinsi kalimantan selatan. Banyak memproduksi batu bara tapi listrik byar-pret hampir setiap hari. Helloooow.. setiap harikah ada perbaikan? Memangnya separah apa sih kerusakannya? *kepobecampurkesel

Ceritanya nih listrik mati dari menjelang maghrib, sekitar jam 18.00 lewat dikit, sampai tulisan ini diketik sekitar jam 23.30 masih mati aja listriknya. –.–” Nggak bisa tidur, bukan karena takut gelap, tapi karena kegerahan. Kamar tidur nggak ada ventilasi udara selain jendela, so sirkulasi udara cuma lewat jendela yang cuma dibuka selepas subuh dan ditutup menjelang maghrib. Amat sangat nggak mungkin buka jendela kamar di malam hari, adem sih yaaa tapi banyak nyamuk (soale masih semak belukar en rawa-rawa nih di belakang rumah).

Kalau dulu pas masih berdua, pintu kamar dibuka begitu aja (tapi pintu depan dikunclah pastinya), biar adem en nggak pengap. Tapi sejak berlima, mau nggak mau pintu kamar harus ditutup. Ya kali mau cari sensasi dengan membiarkan pintu kamar terbuka –.–“.!Nggak bisa leyeh leyeh di ruang depan juga, so mau nggak mau, suka nggak suka aku memilih untuk berupaya melek sampai listrik nyala lagi.

Aih alhamdulillah nyala juga akhirnya. Tepat jam 23.37 wita. Well, hampir 6 jam.

Malu juga sebenernya,, baru mati listrik sebentar gini, udah ngeluh berkepanjangan. +_+ .. Gimana sama mereka yang di wilayah konflik ya?

Jelas memang perbedaan kualitas imannya.
*ngaca

Catatan sepulang dari dr.Sp.A

Standard

Dear cinta,
sungguh benarlah pernyataan “lebih baik ibu yang sakit nak daripada kamu yang sakit”..
Rumah sepi. Barang barang tertata rapi, kalaupun tak rapi yaa setidaknya tetap ada di posisi semula.
Tak ada gelak tawa ataupun ocehan ocehan penuh makna.
Tak ada yang mondar mandir keliling rumah macam setrika yang berjalan ke setiap sudut pakaian.
Dan tak ada yang mau makan sendirii, diambilkan air minum atau mengobrak-abrik tumpukan pakaian yang belum disetrika.
Sedih? Pastinya..

Hey, cinta.
Ternyata aku baru menyadari bahwa cinta seorang ibu tak ada habisnya.
Sebesar apapun rasa kecewanya pada kita, selalu ada ruang maaf untuk anak-anaknya.
Sebesar apapun rasa sedih yang melanda, senyumnya selalu ada saat anak-anak memintanya bercengkrama.
Dan doa doa panjang yang ia pinta pada Rabb pemilik semesta selalu mengalir, mendampingi setiap centi kehidupan keluarganya.

Dan tahukah kau, cinta?
Saat setan menggodamu untuk berkata, “ih, ibu macam apa dia? Pantaskah ia menjadi ibumu?”
Segeralah beristighfar..
Sungguh, tak ada sejengkal pun kita pantas untuk marah padanya, apalagi kalau sampai membencinya.
Rabbi, semoga saja tidak.

Cinta,
Surgamu ada padanya. Tiga kali Rasul sebutkan, tepat sebelum nama ayah.
Dan kau pasti tahu ridhonya Allah ada pada ridho kedua orangtuamu.
Kalau kau anak perempuan dan sudah menikah, ridho Allah ada pada suamimu. Dan orang tua tetap ada setelahnya.

Bersyukurlah,
Bersyukurlah jika lisannya selalu terjaga dari perkataan buruk pada anak-anaknya
Bersyukurlah jika maafnya selalu ada bahkan sebelum kita pinta
Dan bersyukurlah jika Allah masih memberinya usia, itu berarti jalan surgamu masih lapang. Luas.

Dear syahdan,
Maafkan ummi nak.
Cepat sembuh ya, sayang..
Besok kita berantakin lagi mainan dede di kardus itu
Baca baca buku cerita, corat coret kertas hvs,
Atau jalan jalan keliling komplek sama abi
Terus sorenya kita ke sabilal, ikut ummi pengajian. Yuk!
Cepet sembuh ya, nak,,
Ummi rindu senyumanmu. (sad)

(Sepulang konsul dari dokter edy)
Muntah muntah sedari pagi

Cooking oh cooking..

Standard

Hey Mom, forgive me..
Ternyata begini rasanya ketika masakan kita tak dimakan oleh orang yang kita harapkan akan memakannya. Dulu, hampir setiap weekend beli ketoprak, kadang kalau malam jajan siomay atau kebab, sesekali beli mie ayam habis itu nggak makan lagi. Alasannya, pengen makan selain nasi dan (jujur) kadang bosan dengan menu yang sama setiap hari. Tanpa tahu seberapa lelah dan penatnya mempersiapkan itu semua.

Please forgive me, Mom..
Dulu dengan santainya berucap, “ya udah sih Mah, kalo nggak habis kan bisa taro di kulkas”, tanpa memperhatikan apa yang kau rasa saat itu. Ah betapa durhakanya aku. Ditaruh di kulkas pun ternyata tak menjamin akan kumakan makanan itu keesokan harinya. Bertambah sedihkah hatimu, Mah?

Forgive me, Mom..
Memang benar janji Allah, bahwa sekecil apapun suatu perbuatan pasti akan dibalas olehNya. Dan aku baru sadar, “mungkinkan ini balasan untukku karena dulu pernah tak mau menghabiskan masakannya?”. Seperti hari ini. Ba’da subuh, sembari mendengarkan jamaah oh jamaah di trans tv, sudah kuniatkan akan menyiapkan kentang goreng, tempe goreng, ikan selar goreng dan tumis terong. Untuk syahdan. Juga jagung kukus untuk camilannya. Kucoba berikan padanya, untuk sarapan dan yah hanya beberapa suap itu pun ada yang dilepeh olehnya. Siang sama, sore pun sama.

Sudah beberapa kali sebenarnya syahdan semacam GTM. Kadang aku bingung, apa lagi yang kusajikan agar ia mau makan? Stok roti gandum sedang tak ada, biskuit pun hanya malkist roma sayur dan biskuit gandum coklat. Kusuapi pisang, hanya setengah buah. Kuberikan jagung, dimakannya beberapa butir dan sisanya ia hambur-hamburkan. Kuberikan kentang agar ia mau makan sendiri, alhamdulillah masuk beberapa tapi di waktu siang dan sore saat kentang gorengnya sudah tidak garing lagi, dilepeh semua dari mulutnya. Duhai Allah, anakku tak sampai makan satu porsi pun hari ini. πŸ˜₯

Please forgive me, Mom..
Aku belum sepandai engkau dalam mengolah bahan makanan, apalagi seperti Mamah Iwat. Jauh. Teramat jauh. Kau pasti tahu hanya masakan itu itu saja yang baru bisa kusajikan. Sayur sop, sayur bayam, terong balado, kentang balado, goreng-gorengan, ah bahkan sayur asam pun belum pernah kubuat. Dan satu lagi, sambal, kesukaannya yang (sebenarnya) tak boleh terlewatkan.

Pernah suatu ketika, kucoba sajikan sayur sop ayam kampung untuk mereka berempat. Ya, aku, dia, syahdan, dan mamang agung juga mamang bangkit. Tadinya berharap sayur sop itu akan habis dalam satu hari. Tapi ternyata, hehehe.. setengahnya pun tak sampai. Iya Mah, aku tahu. Sayur sop nya terasa hambar. Jangankan asin atau gurih, ini hambar. Waja saja kalau masih bersisa. Dan saat itu aku semakin tahu bahwa Allah sedang menegurku.

Forgive me, Mom..
Maaf aku jarang berterima kasih padamu. Belanja pagi-pagi. Memilih sayuran yang segar dengan harga terjangkau. Memilih ikan yang masih segar dan buah-buahan (jika ada di warung). Membeli telur satu kilo untuk stok beberapa hari ke depan. Juga bumbu-bumbu dapur yang dibutuhkan agar masakanmu lebih berasa. Dan wow ternyata berat juga ya belanjaannya, padahal hampir setiap hari ke warung itu sendiri. Jalan kaki pula. Tidak jauh sebenarny, tapi lumayan berat juga kalau belanjaannya sebanyak itu. (Aku pernah beberapa kali menemaninya).

Maaf aku bahkan jarang membantumu memasak. Lebih sering bersama Syahdan, mulai dari mandi, menceboki, menyuapi, menidurkan, dan kadang menemaninya bermain, walaupun sebenarnya ada papah juga si tante dan dede azka. Dulu, rasanya malas berkecimpung di dapur, tapi setelah menikah aku baru tahu bahwa belajar masak itu memang perlu. Ya pastinya supaya suami dan anak lebih suka makan di rumah daripada jajan di luar. Kapan ya bisa seperti itu?

Mom,
Ternyata menyiapkan makanan untuk disajikan itu butuh waktu lama ya. Apalagi macam aku yang jarang memasak. Mungkin sesuai jam terbang juga kali ya, kalau sudah terbiasa memasak akan lebih cepat dalam menyiapkan itu semua. Dari awal bagian seperti cuci mencuci sayuran , lalu goreng menggoreng atau mengukus, and then menyajikannya di meja makan dan terakhir mencuci alat masak yang tadi dipakai.

Capek? Pastinya.. kadang sampai pegal nih tangan dan kaki. Tapi eh tapi, semua itu akan hilang begitu apa yang sudah dimasak sebelumnya, habis disantap. Aku tak berharap banyak masakanku habis disantap mereka, karena cukup tahulah, rasaku belum sebanding dengan rasanya mama iwat. Hehehe. Syahdan saja cukup. Kalau dia mau menghabiskan masakan yang kubuat untuk makannya dalam satu hari, rasanya “terima kasih ya Allah..”. Hepi bukan main.

Mom, thank you..
Terima kasih selalu menyajikan masakan yang enak dan sehat untukku, bahkan di usiaku yang sudah hampir tiga puluh. Terima kasih selalu membuatnya penuh cinta untuk kami di rumah.

Doakan aku ya, agar bisa sepertimu dan sepertinya. Agar ia dan syahdan suka dengan apa yang kumasak.

Buat Abang

Standard

Lama kita tak bertukar surat cinta, Bang. Ah iya, sudah beberapa bulan ini aku memiliki panggilan baru untukmu. Semula hanya “aa”. Lalu berganti “abi”. Dan kini aku lebih suka memanggilmu dengan “abang”. Janganlah marah, cinta. Aku tak bermaksud menyamakanmu dengan abang ojek atau abang tukang bakso di Jakarta (ya kalo di Banjarmasin, nggak ada abang ojek. Adanya “paman”), hanya merasa, butuh suasana romantis baru setelah kita tak lagi berdua.

Lama kita tak jalan berdua, Bang.
Ya, aku tahu. Kau slalu ingin mengajak jagoan kita ikut serta. Belanjakah, mengantarku ikut pengajiankah, atau sekedar beli makan saat aku tak masak hari itu (ah, bukannya aku memang jarang sekali memasak untukmu?). Dan untuk satu hal ini, kita masih suka berselisih, terutama saat jagoan kita sakit. Flu atau agak demam atau pilek. Kau yang tetap ingin mengajaknya ikut pergi bertiga, dan aku yang lebih suka ia di rumah saja bersama mamang-mamang agar bisa beristirahat. Apa kau sudah tak ingin pergi berdua saja denganku, Bang? *sembari nangis di pojokan*

Setahun sudah.
Sejak Allah menguji kita tanpa memberi peringatan terlebih dahulu. Eh, mungkin kita yang tak peka dengan peringatan dariNya, Bang. Sampai kemudian dalam waktu hitungan hari, hilang sudah apa yang pernah kita bangga-banggakan.
Setahun sudah.
Dan sejak saat itu lisanmu semakin sering berucap “maaf” kepadaku. Semakin sering terlihat merasa bersalah.

Ustadz bilang, Allah menguji hambaNya pada titik terendahnya. Sepertinya titik terendah kita sama, Bang. Bagaimana menurutmu?

Kau pasti menyadari. Aku lebih sensitif dari sebelumnya. Apalagi saat menjelang hari H. Apa apa yang kau lakukan, selalu salah di mataku. Perihal lemari baju yang masih terbuka pun bisa jadi pemicu “emosijiwa” bagiku. Maafkan aku, Bang. Ini pasti karena aku jauh dariNya. Ah, aku selalu rindu,. Rindu menghadiri majelis ilmu. Atau mendengarkannya bersama si Levo. Lalu kurangkum dengan catatan-catatan sesuka hati yang mungkin hanya aku yang mengerti. Rindu pula bersilaturahim. Mencari ribuan hikmah dari mereka yang kita cinta. Bang, jadikah kita belajar tahsin bersama?

Maaf.
Aku selalu menyalahkanmu. Sebab kau pernah berkata seperti ini padaku, “aa mah emang selalu salah”.
Maafkan aku ya, Bang.